Senin, 20 Maret 2017

Beda Pendapat Sunan Kalijaga Dengan Sunan Ampel Soal Model Dakwah

Kumpulan Sejarah - Para tokoh utama penyebar Islam di seluruh Indonesia, Wali Songo dikenal inklusif (terbuka) dalam menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai Islam ke masyarakat Nusantara. Mereka bukan tanpa resisten dalam melakukan misi dakwahnya, karena masyarakat kala itu kental dengan budaya dan tradisi yang telah mengurat dan mengakar.

"Sesaji" Salahsatu tradisi yang ditentang oleh Sunan Ampel

Budaya yang unik dan tradisi yang telah berjalan turun-temurun menjadi tantangan sekaligus potensi tersendiri dalam misi dakwah para wali sembilan itu. Sebagai tantangan, sebab para wali tidak mungkin memberangus budaya dan tradisi masyarakat begitu saja, sedangkan potensi memungkinkan dakwah para wali memiliki instrumen ampuh dalam menyemayamkan agama Islam melalui budaya.

Salah satu anggota Wali Songo yang akrab dengan tradisi dan budaya dalam menyebarkan Islam adalah Sunan Kalijaga (Raden Mas Said). Bahkan salah satu murid Sunan Bonang ini kerap menciptakan tembang dan karya-karya seni lain untuk menarik minat masyarakat secara tidak langsung untuk mempelajari Islam.

Namun demikian, model dakwah yang digagas oleh Sunan Kalijaga itu tidak serta merta mendapat dukungan dari para wali lain. Suatu ketika, dalam rapat dewan wali untuk membahas strategi dakwah Islam, Sunan Ampel yang kala itu menahkodai Wali Songo sempat tidak setuju menggunakan instrumen tradisi dan budaya masyarakat dalam menyebarkan Islam (Choirul Anam, 2010).

Kekhawatiran ini dipahami betul oleh Sunan Kalijaga, karena Sunan Ampel tidak ingin ajaran Islam tercampur dengan budaya dan tradisi masyarakat. Seketika itu pula Sunan Kalijaga memberikan argumentasinya bahwa Islam tidak akan tercampur dengan budaya dan tradisi, melainkan Islam akan memberikan ruh terhadap kebiasaan-kebiasaan masyarakat tersebut.

Artinya, Islam 100 persen tetap pada ajarannya dan masyarakat pun tetap dapat menjalankan tradisinya dengan bingkai nilai-nilai Islam. Inilah yang disebut bahwa Islam tidak akan mencerabut akar tradisi dan budaya masyarakat. Karena jika diandaikan agama adalah sebuah pohon, maka budaya dan tradisi adalah tanahnya. Pohon tidak akan berkembang besar, tinggi, dan berbuah jika tidak ada media tanam.

Melalui akulturasi budaya, masyarakat saat itu juga dapat memahami Islam secara substantif, bukan berdasarkan simbol dan ayat-ayat suci yang hanya dipahami secara tekstual. Kontekstualisasi ajaran Islam yang digagas oleh Sunan Kalijaga dan sunan-sunan lain melalui instrumen budaya akhirnya mendapat respon positif dewan wali sehingga agama Islam terus berkembang dan menjadi agama mayoritas di negeri ini.

Menilik sejarah panjang penuh dengan keindahan tersebut, betapa harus sadarnya masyarakat dan bangsa ini terkait peneguhan identitas diri. Islam yang dibawa oleh Wali Songo tidak mengajarkan kemarahan, tetapi keramahan; tidak memukul, tetapi merangkul; tidak mengejek, tetapi mengajak; tidak eksklusif (tertutup/kaku), tetapi inklusif (terbuka/luwes); dan tidak menggurui, namun menjamui.
(Fathoni Ahmad)

Minggu, 19 Maret 2017

Cerita Peralihan Kekuasaan Kerajaan Majapahit Ke Kerajaan Demak (2)

Kumpulan Sejarah - Tersebutlah Sultan Demak yang akan memohon doa restu kepada para sesepuhnya. Sesudah tiga hari, Sultan Demak berangkat ke Ampel. Adapun yang ditugaskan menunggu di Majapahit adalah Patih Mangkurat serta Adipati Terung. Mereka diperintahkan untuk menjaga keamanan keadaan dan segala kemungkinan yang terjadi. Sunan Kudus menjaga di Demak menjadi wakil Sang Prabu. Di Kabupaten Terung juga dijaga ulama tiga ratus, setiap malam mereka shalat hajat serta tadarus Al Qur’an.

Ilustrasi

Sebagian pasukan dan Sunan ikut Sang Prabu ke Ampelgading. Sunan Ampel sudah wafat hanya tinggal istrinya. Istri beliau asli dari Tuban, putra Arya Teja. Setelah wafatnya Sunan Ampel, Nyai Ageng menjadi sesepuh orang Ampel. Sang Prabu Jimbuningrat sesampainya di Ampel, kemudian menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Prabu Jimbuningrat berkata bahwa dirinya baru saja menyerbu Majapahit, dan melaporkan hilangnya ayahanda serta Raden Gugur. Ia juga melaporkan kematian Patih Majapahit dan berkata bahwa dirinya sudah menjadi raja seluruh tanah Jawa bergelar Senapati Jimbun.

Beliau meminta restu agar langgeng bertahta dan anak keturunannya nanti jangan ada yang memotong. Nyai Ageng Ampel mendengar perkataan Prabu Jimbun, menangis seraya merangkul Sang Prabu. Hati Nyai Ampel tersayat-sayat perih. Demikian ia berkata, “Cucuku, kamu dosa tiga hal. Melawan raja dan orang tuamu, serta yang memberi kedudukan sebagai bupati. Mengapa kamu tega merusak tanpa kesalahan. Apa tidak ingat kebaikan Uwa Prabu Brawijaya? Para ulama diberi kedudukan dan sudah membuahkan rizki sebagai sumber makannya, serta diberi kemudahan dan dibebaskan menyebarkan agama? Seharusnya kamu sangat berterima kasih, tapi akhirnya malah kamu balas kejahatan, kini hidupnya beliaupun tidak ada yang tahu”.

Nyai Ageng kemudian menanyai Sang Prabu, katanya, “Angger, aku akan bertanya kepada kamu, jawablah sebenarnya, ayahandamu yang benar itu siapa? Siapa yang mengangkat kamu menjadi raja di tanah Jawa, dan siapa yang mengijinkan kamu? Apa sebabnya kamu menganiaya orang tanpa dosa?” Raden Patah kemudian menjawab, bahwa Prabu Brawijaya adalah benar-benar ayahandanya. Yang mengangkat dirinya menjadi Raja memangku tanah Jawa adalah semua Bupati pesisir, dan yang mengizinkan adalah para Sunan. Mengapa negara Majapahit dirusak, karena Sang Prabu Brawijaya tidak berkenan masuk agama Islam, masih mempercayai agama kafir, Buda kawak dawuk seperti kuwuk.

Nyai Ageng mendengar jawaban Prabu Jimbun, kemudian menjerit seraya merangkul Sang Prabu dengan berkata, “Angger! Ketahuilah, kamu itu dosa tiga hal, mestinya kamu itu dikutuk oleh Gusti Allah. Kamu berani melawan Raja lagi pula orang tuamu sendiri, serta orang yang memberi anugerah kepada kamu. Kamu berani-beraninya menganggu orang tanpa dosa. Adanya Islam dan kafir siapa yang menentukan, selain hanya Gusti Allah sendiri. Orang beragama itu tidak boleh dipaksa, harus keluar dari keinginannya sendiri. Orang yang kukuh memegang agamanya sampai mati itu utama. Apabila Gusti Allah mengizinkan, tidak usah disuruh, sudah pasti dengan sendirinya memeluk agama Islam. Gusti Allah bersifat rahman, tidak memerintahkan dan menghalangi kepada orang beragama. Semua ini atas kehendaknya sendiri-sendiri.

Gusti Allah tidak menyiksa orang kafir yang tidak bersalah, serta tidak memberi ganjaran kepada orang Islam yang bertindak tidak benar, hanya benar dan salah yang diadili dengan keadilan. Ingat-ingatlah asal-asalmu, ibumu Putri Cina menyembah Pikkong, berwujud kertas atau patung batu. Kamu tidak boleh benci kepada orang yang beragama Buda. Matamu itu berkacalah, agar tidak blero penglihatanmu, tidak tahu yang benar dan yang salah. Katanya anaknya Sang Prabu, kok tega menelan ayahanda sendiri. Bisa-bisanya sampai hati merusak tanpa tata krama. Berbeda matanya orang Jawa.

Orang Jawa matanya hanya satu, maka ia menjadi tahu benar dan salah, tahu yang baik dan yang buruk, pasti hormat kepada ayah, kedua kepada raja yang memberi anugrah, ia wajib dijunjung tinggi. Ikhlasnya hati bakti kepada ayah, tidak berbakti kepada orang kafir, karena sudah kewajiban manusia berbakti kepada orang tuanya.
Kamu aku dongengi, Wong Agung Kuparman, itu beragama Islam, punya mertua kafir, mertuanya benci kepada Wong Agung karena lain agama, mertuanya selalu mencari cara agar menantunya mati. Tetapi Wong Agung selalu hormat dan sangat kasih serta menjunjung tinggi kedua orang tuanya. Ia tidak memandang orang tua dari segi kekafirannya, tapi posisinya sebagai orang tuanya. Maka Wong Agung selalu menjunjung hormat kepada mertuanya itu. Itulah Angger yang dinamakan orang berbudi baik. Tidak seperti tekadmu, ayahanda disia-siakan, mentang-mentang kafir Buda tidak mau berganti agama. Itu bukan patokan. Aku akan bertanya sekarang, apakah kamu sudah memohon kepada orang tuamu, agar beliau pindah agama? Mengapa negaranya sampai kamu rusak itu bagaimana?

Prabu Jimbun berkata, bahwa ia belum memohon pindah agama, sesampainya di Majapahit langsung saja mengepung. Nyai Ageng Ampel tersenyum sinis dan berkata, “Tindakanmu itu makin salah. Para Nabi jaman kuna, ia berani kepada orang tuanya itu karena setiap hari sudah mengajak berpindah agama, bahkan sudah ditunjukkan mu’jizat kepadanya, tetapi tidak berkenan. Karena setiap hari sudah dimohon agar memeluk agama Islam, tetapi ajakannya tadi tidak dipikirkan, masih melestarikan agama lama, maka kemudian dimusuhi. Jika demikian caranya, meskipun melawan orang tua, lahir batin tidak salah. Tapi orang seperti kamu? Mu’jizatmu apa? Apabila benar Khalifatullah berwenang mengganti agama, coba keluarkan apa mu’jizatmu, aku lihat?”

Prabu Jimbun mengakui bahwa ia tidak memiliki mu’jizat apa-apa, hanya menurut perkataan buku, katanya apabila mengIslamkan orang kafir besok akan mendapat ganjaran surga. Nyai Ageng Ampel tersenyum tetapi tambah amarahnya. “Kata-kata saja kok dipercayai, pun bukan buku dari leluhur. Orang mengembara kok diturut perkataannya, yang mendapat celaka ya kamu sendiri. Itu pertanda ternyata masih mentah pengetahuanmu.
Berani kepada orang tua, karena keinginanmu menjadi raja, kesusahannya tidak dipikir. Kamu itu bukan santri yang tahu sopan santun, hanya mengandalkan sorban putih, tetapi putihnya kuntul, yang putih hanya di luar, di dalam merah.
Ketika kakekmu masih hidup, kamu pernah berkata bila akan merusak Majapahit, kakekmu melarang. Malah berpesan dengan sungguh-sungguh jangan sampai memusuhi orang tua. Sekarang kakekmu sudah wafat, wasiatnya kamu langgar. Kamu tidak takut akibatnya. Kini kamu meminta izin kepadaku, untuk menjadi raja di tanah Jawa, aku tidak berwenang mengizinkan, aku rakyat kecil dan hanya perempuan, nanti buwana balik namanya.
Karena kamu semestinya yang memberi izin kepadaku, karena kamu Khalifatullah di tanah Jawa, hanya kamu sendiri yang tahu, seluruh kata-katamu lidah api. Aku sudah tuwa tiwas, sedang kamu nanti tua, akan tetap menjadi tuanya seorang raja”.

Nyai Ageng Ampel berkata lagi, ”Cucu! Kamu aku dongengi sebuah kisah, dalam Kitab Hikayat diceritakan di tanah Mesir, Kanjeng Nabi Dawud, putranya menginginkan tahta ayahandanya. Nabi Dawud sampai mengungsi dari negara, putranya kemudian menggantikannya menjadi raja. Tidak lama kemudian bisa kembali merebut negaranya. Putranya naik kuda melarikan diri ke hutan, kudanya lepas tersangkut pepohonan, sampai ia tersangkut tergantung di pohon. Itulah yang dinamakan hukum Allah.

Ada lagi cerita Sang Prabu Dewata Cengkar, ia memburu tahta ayahandanya, tetapi kemudian dikutuk oleh ayahandanya kemudian menjadi raksasa, setiap hari makan manusia. Tidak lama kemudian, ada Brahmana dari tanah seberang datang ke tanah Jawa bernama Aji Saka. Aji Saka memamerkan ilmu sulap di tanah Jawa. Orang Jawa banyak yang cinta kepada Aji Saka, dan benci kepada Dewata Cengkar. Aji Saka diangkat menjadi raja, Dewata Cengkar diperangi sampai terbirit-birit, tercebur ke laut dan berubah menjadi buaya, tidak lama kemudian mati. Ada lagi cerita di Negara Lokapala juga demikian, Sang Prabu Danaraja berani kepada ayahandanya, hukumnya masih seperti yang aku ceritakan tadi, semua menemui sengsara. Apalagi seperti kamu, memusuhi ayahanda yang tanpa susila, kamu pasti celaka, matimu pasti masuk neraka, yang demikian itu hukum Allah”.

Sang Prabu Jimbun mendengar kemarahan eyang putrinya menjadi sangat menyesal di hati, tetapi semua sudah terjadi.
Nyai Ageng Ampel masih meneruskan gejolak amarahnya, ”Kamu itu dijerumuskan oleh para ulama dan para Bupati. Tapi kamu kok mau menjalani, yang mendapat celaka hanya kamu sendiri, lagi pula kehilangan ayah, selama hidup namamu buruk, bisa menang perang tetapi musuh orang tua raja. Karena itu bertaubatlah kepada Yang Maha Kuasa, kiraku tidak bakal memperoleh ampunan. Pertama memusuhi ayah sendiri, kedua membelot kepada Raja, ketiga merusak kebaikan dan merusak negara tanpa tahu adat. Adipati Ponorogo dan Adipati Pengging pasti tidak akan terima rusaknya Majapahit, pasti akan membela kepada ayahnya, itu saja sudah berat tanggunganmu”.

Nyai Ageng tumpah ruah meluapkan amarahnya kepada Prabu Jimbun. Setelah itu, Sang Prabu diperintahkan kembali ke Demak, serta diperintahkan agar mencari hilangnya ayahandanya. Apabila sudah bertemu dimohon pulang ke Majapahit, dan ajaklah mampir ke Ampelgading. Akan tetapi apabila tidak berkenan, jangan dipaksa, karena jika sampai marah maka ia akan mengutuk, kutukannya pasti makbul.

Setelah Prabu Jimbun tiba di Demak, para pengikutnya menyambutnya dengan gembira dan berpesta ria. Para santri bermain rebana dan berdzikir, mengucap syukur dan sangat gembira atas kemenangan mereka dan kepulangan Sang Prabu Jimbun atau Raden Patah. Sunan Bonang menyambut kepulangan Sang Prabu Jimbun.

Sang raja kemudian melaporkan kepada Sunan Bonang bahwa Majapahit telah jatuh, buku-buku agama Buda sudah dibakari semua, serta melaporkan kalau ayahandanya dan Raden Gugur lolos. Patih Majapahit tewas di tengah peperangan, Putri Cempa sudah diajak mengungsi ke Bonang. Pasukan Majapahit yang sudah takhluk kemudian disuruh masuk Islam.

Sunan Bonang mendengar laporan Sang Prabu Jimbun, tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia mengatakan peristiwa itu cocok dengan perkiraan batinnya.

Sang Prabu melaporkan bahwa ia telah mampir ke Ampeldenta untuk menghadap Eyang Nyai Ageng Ampel. Kepada Eyang Nyai Ageng Ampel ia mengatakan kalau baru saja dari Majapahit, serta memohon izin bertahta menjadi raja tanah Jawa. Akan tetapi di Ampel ia malah dimarahi serta diumpat-umpat. Ia dikatakan tidak tahu membalas kebaikan Sang Prabu Brawijaya. Akhirnya ia diperintahkan supaya mencari dan mohon ampun kepada ayahandanya. Semua kemarahan Nyai Ageng Ampel dilaporkan kepada Sunan Bonang.

Mendengar hal itu Sunan Bonang dalam batin menyesal dan merasa bersalah karena khilaf akan kebaikan Prabu Brawijaya. Tapi rasa yang demikian tadi ditutupi dengan berpura-pura menyalahkan Prabu Brawijaya lan Patih, karena tidak mau pindah agama Islam. Sunan Bonang mengatakan agar perintah Nyai Ageng Ampel tidak perlu dipikirkan benar, karena pertimbangan wanita itu pasti kurang sempurna, lebih baik penghancuran Majapahit dilanjutkan. Jika Prabu Jimbun menuruti perintah Nyai Ampeldenta, Sunan Bonang lebih baik akan pulang ke Arab. Akhirnya Prabu Jimbun berjanji kepada Sunan Bonang, untuk tidak menjalani perintah Nyai Ampel.

Sunan Bonang memerintahkan kepada Sang Prabu, jika ayahandanya memaksa pulang ke Majapahit, Sang Prabu diperintahkan menghadap dan meminta ampun akan semua kesalahannya. Akan tetapi bila beliau ingin bertahta lagi, jangan di tanah Jawa, karena pasti akan mengganggu orang yang pindah agama Islam. Ia disuruh bertahta di negara lain di luar tanah Jawa.

Sunan Giri kemudian menyambung, agar tidak mengganggu pengislaman Jawa, Prabu Brawijaya dan putranya lebih baik ditenung saja. Karena membunuh orang kafir itu tidak ada dosanya. Sunan Bonang serta Prabu Jimbun sudah mengamini pendapat Sunan Giri yang demikian tadi.


Sumber: http://aryawirabumi.blogspot.com/2011/03/dialog-sunan-kalijaga-dengan-prabu.html#ixzz4bpwNsJq5

Cerita Peralihan Kekuasaan Kerajaan Majapahit Ke Kerajaan Demak (1)

Kumpulan Sejarah - Sunan Kalijaga berkata “Namun lebih baik jika Paduka berkenan berganti syariat rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi jika Paduka tidak berkenan itu tidak masalah. Toh hanya soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum paham syahadat itu juga tetap kafir namanya.”
Sang Prabu berkata, “Syahadat itu seperti apa, aku koq belum tahu, coba ucapkan biar aku dengarkan “

Ilustrasi

Sunan Kalijaga kemudian mengucapkan syahadat, asyhadu ala ilaha ilallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Kanjeng Nabi Muhammad itu utusan Allah. “
Sunan Kalijaga berkata banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah Islam, setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya tidak mempan digunting. Sunan Kalijaga lantas berkata, Sang Prabu dimohon Islam lahir batin, karena apabila hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian berkata kalau sudah lahir batin, maka rambutnya bisa dipotong.
Sang Prabu setelah potong rambut kemudian berkata kepada Sabdapalon dan Nayagenggong,
“Kamu berdua kuberitahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam. Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak pindah agama rasul dan meninggalkan agama Buddha.”

Cerita mengenai dialog Prabu Brawijaya V dengan seseorang yang tidak mau masuk Islam adalah dimana Prabu Brawijaya V menerima putra mahkota Majapahit (pengganti Brawijaya V) dimana sang putra mahkota menolak mengganti ayahandanya Brawijaya V dengan alasan Putra mahkota tidak mau kerajaan yang beragama Hindu sebagai agama kerajaan diganti menjadi agama Islam. Sehingga Putra mahkota tersebut bergelar Raden Gugur dan beliau menjadi Pertapa di gunung Lawu .

Raden Gugur ketika meninggalkan Istana beliau bersabda bahwa agama islam diperkenankan menebarkan agama islam dengan catatan bila agama islam tersebut tidak menjadikan agama yang menjadikan umatnya,damai,sejahtera dan bersatu dan saling menghormati agama lain aku akan menagih janji kepada para ulama dan pemimpin bangsa nusantara.dengan aku memimpin rakyat kecil turun menuju kota besar untuk meminta keadilan,kesejahteraan,kedamaian. kemunculan aku dengan tandanya para sepuh akan turun gunung,gunung gunung meletus,bencana alam dan manusia dimana-mana.

Dengan kepergian Putra mahkota/raden gugur Prabu Brawijaya V menjadi gundah/bingung sehingga beliau mencari pendapat siapakah kelak pengganti dirinya,intrik istanapun berkerja.beliau mendapat berita bahwa Raden Patah sedang memimpin penyerbuan ke Madjapahit. sehingga Prabu Brawijaya pergi meninggalkan Istana menuju ke Blambangan untuk minta bantuan dari kerajaan dari Bali. sementara kedatangan raden rahmat adalah utusan raden patah yang akan menghadap Ayahnya Prabu Brawijaya tetapi dijalan dihadang oleh kelompok yang ingin merebut kekuasaan kerajaan. sehingga raden patah mendapat berita bahwa ayahnya sedang mendapat tekanan/kudeta sehingga mengirim pasukan untuk membebaskan ayahnya,sementara Prabu Brawijaya V mendapat berita bahwa anaknya akan menyerbu Kerajaan Madjapahit.

Dalam pelarian Prabu Brawijaya, Raden Said(Sunan Kalijaga) menyusul Prabu BrawijayaV. terjadilah pertemuan di Blambangan, dimana Raden Said menghentikan niat Prabu Brawijaya V meminta bantuan dari kerajaan di Bali, dimana dalam dialog tersebut.tersebut Raden Said mengatakan kepada Prabu Brawijaya V. bahwa yang datang ke Majapahit adalah Putra beliau sendiri yang bernama Raden Patah dan raden patah tidak bermaksud menguasai kerajaan tetapi ingin membebaskan Prabu dari tangan pemberontak.

Setelah Prabu Brawijaya V mendengar penjelasan dai Raden Said. maka beliau tidak jadi menyeberang ke Bali dan ingin kembali ke Madjapahit. kemudian Prabu Brawijaya minta pendapat kepada Raden said siapakah yang berhak menjadi pengganti Prabu Brawijaya V, oleh Raden Said diusulkan Raden Patah (Anak Prabu Brawijaya v dengan Putri Cina) kemudian disetujui oleh Prabu Brawijaya V.

Raden Said(Sunan Kalijaga) kemudian meminta kesediaan untuk Prabu Brawijaya V Masuk agama islam untuk membuktikan pengakuan Raja yang menyetujui Raden Patah menjadi pengganti Prabu Brawijaya V serta agama kerajaan Madjapahit menjadi agama Islam. Prabu Brawijaya V menyetujui kemudian Raden Said men Baiat Prabu dengan 2 kalimat syahadat.

Prabu Brawijaya V meminta kepada Raden Said khusus untuk Membaca 2 Kalimat Syahadat, Prabu Brawijaya V mau melakukan tetapi tanpa asyhadu(saya bersaksi).dimana intinya Prabu Brawijaya V tidak berani dan sanggup yang disebabkan faktor usia dan ketidak sanggupan Prabu Brawijaya melaksanakannya, dimana kata asyhadu(bersaksi kepada tuhan) adalah sangat berat.

Terjadilah dialog yang sangat panjang. yang diakhiri oleh suatu percakapan dimana Prabu Brawijaya V mengatakan kepada Raden Said (Sunan Kalijaga), bila beliau salah dalam mengucapkan 2 kalimat syahadat tanpa asyhadu maka air danau tempat saya mengucap menjadi bukti besok bila wangi maka permohonan saya dikabulkan oleh Allah SWT. dan bila besok air danau ini bau anyir maka saya mengulangi membaca 2 kalimat syahadat dengan asyhadu. ternyata keesokan harinya air danau terebut berbau wangi “Kuasa Allah amat mulia dan meliputi semuanya” dan sekarang disebut kota Banyuwangi.

Dalam perjalanan pulang Sunan Kalijaga mengiringi Prabu Brawijaya V dan tiada hentinya Sunan Kalijaga dan Prabu Brawijaya V membicarakan agama Islam.sesampai kembali di Kerajaan Majapahit Prabu Brawijaya menanyakan kepada Sunan Kalijaga tentang keberadaan Raden Patah.                 Rupanya Takdir berkata lain Raden Patah berhalangan/bersimpangan jalan dan ketika terakhir kali ditanyakan oleh Prabu Brawijaya V kepada Raden Said duduklan  seorang pemuda disebelah Raden Said Prabu Brawijaya V bertanya siapakah dia dan Raden Said menjawab ia adalah Bondan Kejawen putra Prabu juga sehingga Prabu mengucapkan kepada Raden Said bahwa Raden Patah akan memimpin Kerajaan Islam pertama di nusantara dan kerajaan tersebut hanya satu periode(Demak) dan sebagai penerus kerajaan nusantara adalah keturunanku yang lain dari Bondan Kejawan.
Karena Usia Prabu Brawijaya V sudah Lanjut dan beliau wafat tidak dapat bertemu juga dengan Raden Patah.dan pesan Prabu Brawijaya V makam ku dinamakan “Makam Putri Cempa”

Sangatlah sayang Sabdopalon yang merupakan kitab diplesetkan jadi orang dan dibuat sarana untuk mengadu domba. maka kita jangan terjebak oleh kitab2 apalagi jaman penjajahan belanda buku2 tersebut diambil dan dikembalikan dengan sudah dirubah. seperti fakta yang ada dan sangat disayangkan Candi Borobudur pada Tingkat pertama dan kedua oleh belanda dikubur/ditanam agar kita generasi penerus tidak dapat mengetahui.(Tingkat pertama dan kedua terdapat relief kehidupan manusia, dimana manusia berbuat apa yang terjadi dalam kehidupannya)jadi saya untuk mempelajari buku 2 kuno, saya berpegangan kepada budaya adi luhur pendahulu dan bila tidak cocok saya mencoba untuk mengartikan apa yang hendak dipesan lewat tulisan itu apakah simbol atau bikinan Belanda atau anteknya. sehingga kita selalu terbawa arus adu domba dan pembodohan terus.

Bersumber dari : Komentar Firman Hanny Juni 14th, 2009 at 16:35 di Wahyu Sasmita
( Sabdo Palon Naya Genggong ) 
http://databrita.blogdetik.com/2009/06/08/sabdo-palon-naya-genggong/comment-page-1/

Read more: http://aryawirabumi.blogspot.com/2011/03/dialog-sunan-kalijaga-dengan-prabu.html#ixzz4bpmO82A0

Existensi Kerajaan SaungGalah Kuningan

Kumpulan Sejarah - Kalau kita mengungkap kembali eksistensi Kerajaan Saunggalah Kuningan yang dipimpin oleh Resiguru Demunawan, ada peristiwa-peristiwa penting yang telah terjadi berkaitan dengan peranan tokoh tua dari Saunggalah ini yang berhasil membawa Kerajaan Saunggalah sebagai satu kerajaan “penting & menentukan”  di tengah-tengah pergaulan dengan kerajaan lainnya, khususnya di Jawa Barat, pada kurun waktu abad ke-8 Masehi. Peranan Resiguru Demunawan itu antara lain berhasil menjadikan Kerajaan Saunggalah sebagai kerajaan “besar” menurut ukuran zaman waktu itu, mampu mensejajarkan diri dengan kebesaran Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda yang telah berdiri terlebih dulu. Selanjutnya Resiguru Demunawan juga merupakan tokoh yang dipercaya untuk menengahi pertikaian ketika terjadi perang saudara antara Manarah (Ciung Wanara) dengan Rahyang Banga di Galuh pada tahun 739 Masehi.


Melihat kondisi umum abad ke-8 Masehi di Jawa Barat, penulis sejarah banyak yang terpaku perhatiannya pada kebesaran dan kejayaan raja Sanjaya yang berhasil menyatukan Kerajaan Galuh dan Sunda. Padahal di lain pihak masih ada satu kerajaan di Jawa Barat yang tidak ditundukkan oleh Sanjaya dan dibiarkan tetap berdiri sebagai negara merdeka, yaitu Kerajaan Saunggalah. Sikap Sanjaya demikian disebabkan ketaatan Sanjaya pada ayahnya, Prabu Sanna atau Sang Sena, agar Sanjaya bersikap lunak pada Kerajaan Saunggalah. Sikap Sanjaya terhadap Demunawan digambarkan dalam Pustaka Kretabhumi I/2 halaman 39-40 sbb:

"Rasika tanana katakut ring Sang Demunawan ing Saunggalah, tathapyan mangkana sira tanan angga malurug ring kedatwan uwanira. Hetunya ayayah nira ya ta Sang Prabhu Senna haneng Medang ri Bhumi Mataram ri Jawa Wetan. Kumonaken ajnanihangta: kinon ta sarikadibyaguna ring santana praisantana nira. Haywatta sira lumage wwang sanak ya ta Sang Demunawan. Rumakettamuwang hatut madulur parasparo-pasarpana. Gorawa ning wwang atuha."

[Ia tidak merasa takut kepada Sang Demunawan di Saunggalah, tetapi ia tidak berniat menyerang keraton uwanya, karena ayahnya yaitu Sang Prabu Senna di Medang di Bumi Mataram di Jawa Timur (sekarang Jawa Tengah) mengirimkan perintah begini: ia diharuskan bersikap mulia kepada sanak keluarganya. Tidak boleh ia memerangi kerabatnya, yaitu sang Demunawan. Hormatilah orang tua] (Danasasminta, 1983/1984: 68).

Pada tahun 732 Masehi Sanjaya dinobatkan menjadi penguasa Medang Bumi Mataram yang ditandai dengan pendirian prasasti Canggal yang berangka 654 Saka (6 Oktober 732 Masehi) (Sumadio [ed.], 1984: 98). Sanjaya mewarisi takhta di Medang Bumi Mataram dari ayahnya, Sang Sena (Sang Bratasenna) yang menikah dengan Dewi Sannaha, yaitu puteri Mandiminyak (raja Galuh) dengan Dewi Parwati. Parwati adalah puteri pasangan Ratu Sima dengan Kartikeyasingha raja Keling (Kalingga) di Jawa Tengah. Ketika Ratu Sima wafat, Kalingga dibagi dua kepada Parwati dan adiknya, Narayana. Parwati memperoleh bagian utara yang disebut Bumi Mataram, sedangkan Narayana (bergelar Iswarakesawa Lingga Jagatnata Buwanatala) mendapat bagian selatan dan timur yang disebut Bumi Sambara. Tokoh ini yang disebut Hyang Isora raja Balitar dalam CP (Danasasmita, 1983/1984: 51; Ekadjati et al., 1991: 5).

Sebagai konsekuensi dari kepindahan Sanjaya ke Mataram tersebut, maka wilayah kekuasaannya di Jawa Barat diserahkan kepada puteranya yaitu Tamperan Barmawijaya. Karena kepindahan Sanjaya ke Mataram inilah rupanya dianggap suatu moment oleh para penulis Sejarah Kuningan selama ini bahwa pada tahun 732 Masehi adalah berdirinya Kerajaan Saunggalah, yang mungkin dianggap telah lepas dari kekuasaan Sanjaya. Padahal seperti telah diterangkan terdahulu, Kerajaan Saunggalah berdiri tahun 723 Masehi atas bentukan Batara Dangiang Guru (Rahyang Sempakwaja) dan Kerajaan Saunggalah tidak pernah ditundukkan oleh Sanjaya (Kerajaan Sunda).

Dalam rangka hubungan dengan kerajaan lain, terutama yang ada di Jawa Barat, Resiguru Demunawan mempunyai peranan menentukan ketika berhasil mendamaikan perang saudara antara Manarah – Banga di Galuh tahun 739 M. Perdamaian akhirnya berhasil disepakati dengan dibuatnya keputusan sebagai berikut:

1. Negeri Sunda dari wilayah Citarum ke Barat dirajai oleh Sang Kamarasa alias Banga dengan gelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya.

2. Negeri Galuh dari wilayah Citarum ke Timur dirajai oleh Sang Surotama alias Manarah dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana.

3. Resiguru Demunawan masih menguasai negeri Saunggalah dan bekas Kerajaan Galunggung; dan Sanjaya tetap memerintah di Jawa Tengah. (Danasasmita, 1983/1984: 79-80).

Sebagai upaya mengukuhkan kerukunan antara keturunan Wretikandayun dan Tarusbawa ini, Manarah dan Banga dijodohkan dengan dua orang cicit Resiguru Demunawan. Manarah menikah dengan Kencanawangi, Banga menikah dengan Kencanasari. Dengan demikian berbaurlah darah Sunda-Galuh- Saunggalah. Hal ini kiranya menandakan bahwa telah terjadi upaya pembinaan kerukunan keluarga antara tiga kerajaan di Jawa Barat melalui ikatan pernikahan.

Peranan Resiguru Demunawan yang demikian menentukan dalam saat-saat keturunan Wretikandayun menghadapi kemusnahan karena pertikaian bersenjata, dalam CP dilukiskan sebagai berikut: “...Tembey sang resiguru ngayuga taraju Jawadwipa. Taraju mainya Galunggung, Jawa mati wetan…”, (mulailah sang resiguru mengatur kesetimbangan di Pulau Jawa. Timbangannya adalah Galunggung dan Jawa di sebelah Timur) (Atja, 1968: 28, 53).

Langkah yang diambil Resiguru Demunawan itu kiranya merupakan langkah politik yang bijaksana untuk kepentingan anak cucunya. Resiguru Demunawan telah berhasil menghapus noda darah yang pernah menggenangi keraton Galuh akibat perbuatan kakaknya, Rahyang Purbasora, yang merebut takhta Galuh dari Prabu Sanna (Sang Sena) pada tahun 716 Masehi.

Sumber:
Penulis: Yaya Sunarya, S.S, M.Si

Kerajaan Di Jawa Barat (2): Tarumanagara Dalam Naskah Wangsakerta

Kumpulan Sejarah - Penjelasan tentang Tarumanagara cukup jelas di Naskah Wangsakerta. Sayangnya, naskah ini mengundang polemik dan banyak pakar sejarah yang meragukan naskah-naskah ini bisa dijadikan rujukan sejarah.

Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon itu, Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga.

Naskah Wangsakerta

Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura—pertama kalinya nama "Sunda" digunakan.

Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.

Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda?

Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.

Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).

Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.

Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.

Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa.

Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.

Kerajaan Di Jawa Barat (1): Tarumanegara

Kumpulan Sejarah - Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.

Ilustrasi Kerajaan Tarumanegara

Kata tarumanagara berasal dari kata taruma dan nagara. Nagara artinya kerajaan atau negara sedangkan taruma berasal dari kata tarum yang merupakan nama sungai yang membelah Jawa Barat yaitu Citarum. Pada muara Citarum ditemukan percandian yang luas yaitu Percandian Batujaya dan Percandian Cibuaya yang diduga merupakan peradaban peninggalan Kerajaan Taruma.

Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.

Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan dia memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.

Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiyang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor

Prasasti Ciaruteun

Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.

Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.

Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.

Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :

ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda

Terjemahannya menurut Bosch:

Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda.
Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.

Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Ci Aruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sanskerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:

vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam

Terjemahannya menurut Vogel:

Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.

Selain itu, ada pula gambar sepasang "padatala" (telapak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan &mdash& fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir Muhara.


Dua arca Wishnu dari Cibuaya, Karawang, Jawa Barat. Tarumanagara sekitar abad ke-7 Masehi. Mahkotanya yang berbentuk tabung menyerupai gaya seni Khmer Kamboja.
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:

jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam


Terjemahannya:

Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.

Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguasa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwani Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.

Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.

Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:

shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma 
pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.

Terjemahannya menurut Vogel:

Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.

Sumber-sumber dari luar negeri semuanya berasal dari berita Tiongkok.

Berita Fa Hien, tahun 414M dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti ("Jawadwipa") hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan "beragama kotor" (maksudnya animisme). Ye Po Ti selama ini sering dianggap sebutan Fa Hien untuk Jawadwipa, tetapi ada pendapat lain yang mengajukan bahwa Ye-Po-Ti adalah Way Seputih di Lampung, di daerah aliran way seputih (sungai seputih) ini ditemukan bukti-bukti peninggalan kerajaan kuno berupa punden berundak dan lain-lain yang sekarang terletak di taman purbakala Pugung Raharjo, meskipun saat ini Pugung Raharjo terletak puluhan kilometer dari pantai tetapi tidak jauh dari situs tersebut ditemukan batu-batu karang yg menunjukan daerah tersebut dulu adalah daerah pantai persis penuturan Fa hien[butuh rujukan]

Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To-lo-mo ("Taruma") yang terletak di sebelah selatan.

Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan dari To-lo-mo.
Dari tiga berita di atas para ahli[siapa?] menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara.

Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang Taruma.

Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hapir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.
Sumber: wikipidia

Sejarah Kesultanan Mataram

Kumpulan Sejarah - Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Lukisan Sultan Agung Hanyokro Kusumo
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.

Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.

Sutawijaya
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena dia wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas Rangsang,Mataram mengalami masa keemasan.

Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Karta (Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Karta"). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).

Terpecahnya Mataram

Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered (1647), tidak jauh dari Karta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5 km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.

Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.

Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.