Sunan Ampel
Dalam catatan Portugis bertahun 1480 M, pendiri Demak adalah orang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko Po yang kemudian digantikan putranya yang bernama Pate Rodim. Walau berasas Tionghoa, Demak kemudian lebih akrab dengan kerajaan Mughal di India karena hubungan perdagangan dan ideologi agama. Ditambah lagi fakta bahwa Mughal selalu berusaha melebarkan kekuasaan ke wilayah China sebagai bagian dari wasiat Timurlenk. Dan mungkin juga karena ada pergantian Dinasti di China pada awal tahun 1500-an, Han ke Ming.
Keakraban Demak dan Mughal-India semakin mengental ketika perang salib berlangsung dan berlakunya embargo rempah-rempah ke Eropa. Jalur rempah-rempah pada masa itu dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Islam, mulai dari timur tengah sampai sebagai pemasar ke Eropa sampai India dan Nusantara sebagai sumber rempah-rempah.
Aksi embargo itulah yang akhirnya memaksa Bangsa Eropa berlayar mencari sendiri sumber rempah dan melakukan kolonialisasi.
Mughal mewarisi semangat Timurlenk dalam menyebarkan Islam. (Masih ingat kan? atau klik di sini) Dinasti Islam India sebelum mughal, ditumpas habis oleh Timurlenk karena tidak terlalu agresif menyebarkan Islam pada penduduknya. Demak selalu mendapat provokasi dari Mughal untuk menyebarkan Islam ke seluruh Jawa, bila perlu Majapahit ditumpas sekalian.
Provokasi semakin gencar ketika Kesultanan Ottoman Turki juga mulai masuk ke Demak, Turki dan Mughal tidak pernah akur karena sejarah Timurlenk. Mughal ingin terus menjaga kedekatan dengan Demak karenanya dia ingin tampil sebagai pahlawan dalam perluasan wilayah Demak.
Para sunan yang saat itu kedudukanya sebagai penguasa wilayah (setara gubernur), panglima perang sekaligus pemimpin spiritual sudah berkali-kali mengadakan musyawarah dan menyetujui untuk menyerang Majapahit. Tapi selalu saja kandas karena tidak mendapat restu dari ketua para sunan, yaitu Sunan Ampel, Maulana Malik Ibrahim.
Sunan Ampel yang berkuasa di Surabaya, selalu menolak usulan itu. Dia selalu beralasan bahwa Majapahit bukan negara harby yang mengobarkan perang ataupun menjadi ancaman pada Demak, lagipula di dalam kekuasaan Majapahit orang-orang Islam bisa hidup dengan damai, maka tidak ada pembenaran Syar’i untuk memeranginya.
“Jeng Sunan Ngampel mambengi, mring para wali sedaya, lawan putra sedayane, rehning prabu Brawijaya, among sesadyanira, mring para wali sedarum, pinadekkaken kewala”
(Sunan Ampel melarang semua para wali begitu juga semua putranya, karena Prabu Brawijaya menjaga para wali semuanya, membiarkan saja apa yang dilakukan para wali itu)
Setelah Sunan Ampel wafat, perang akhirnya tidak bisa dibendung lagi. Raden Fatah, Raja Demak saat itu yang sebenarnya putra mantu dan aslinya kelahiran Majapahit pun tak sanggup membendung nafsu perang.
Setelah musyawarah para Wali dan disetujui Raden Fatah, agresi pertama Demak dipimpin oleh Sunan Ngundung dengan 7.000 pasukan dan 40 modin dengan wakil panglima Amir Hamzah putera Sunan Wilis.
Agresi militer yang pertama ini pecah perang di daerah Tunggarana. Pasukan Demak dihadang 11.000 pasukan Majapahit yang dipimpin Panglima Gajah Sena. Walau akhirnya sukses menumpas Demak, tapi Majapahit kehilangan sang Panglima Gajah Sena.
Demak akhirnya mundur dengan pasukan tersisa cuma 35 orang, tapi Majapahit walau sepertinya menang tapi kehilangan panglima perang adalah pukulan telak bagi pertahanan kerajaan dalam menghadapi agresi militer kedua dari Demak.
Keputusan Demak berperang ini tidak serta merta ditaati oleh semua orang Islam di tanah Jawa. Bathara Katong yang berkuasa di Ponorogo (1485-1525M) menolak perang ini karena itu adalah melanggar wasiat Sunan Ampel. Di Agresi Militer ke II, Bathara Katong lebih memilih berperang dengan Majapahit melawan Demak.
Bersambung.......
0 komentar:
Posting Komentar