Sabtu, 18 Maret 2017

Friksi Islam Kejawen Dan Islam Asketis

Kumpulan Sejarah - Setelah wafatnya Sultan Trenggana asal Demak Bintoro, yang sukses menyatukan seluruh wilayah (suku) Jawa dalam satu kerajaan Islam dan mendapat legitimasi daripada para Wali/Sunan.

Mulailah muncul friksi antara umat Islam sendiri. Terutama sekali menyangkut faham kemurnian Islam dan fanatisme Jawa. Sejarawan barat menyebutnya sebagai Islam kejawen vs Islam Asketis.

Perbedaan ini muncul dari proses ber-islam. Masyarakat di pesisir Utara, yang berada dipusat perdagangan global, lebih terbuka untuk menerima Islam secara utuh dan meninggalkan segala adat-istiadat Jawa.



Islam di bandar-bandar pelabuhan menjadi semacam gaya hidup bagi kalangan menengah atas. Tidak hanya sekedar beralih agama, tapi juga bisa menaikkan status, menjadi tiket masuk ke “kasta” saudagar asing yang datang dari Turki, India dan China Muslim.

Sedang bagi kalangan bawah, kuli dan buruh. Masuk Islam berarti menaikkan kesejahteraan, karena bisa mengikatkan emosional dengan para majikan. Sedang kaum budak, masuk Islam berarti kebebasan, karena kuatnya desakan dari para wali/sunan untuk membebaskan budak sebagaimana tuntunan Rasulullah.


Di wilayah majapahit, pedalaman dan pesisir selatan jawa, komunitas Islam sudah ada di Majapahit sejak Abad-14. Proses islamisasi berlangsung dengan adaptasi budaya, yang kemudian memunculkan Islam Kejawen. Secara agama mereka adalah muslim, tapi tetap mengamalkan adat istiadat jawa terutama yang dipengaruhi agama Hindu-Budha.

Tome Pires pada tahun 1515M mencatat tentang perilaku Islam Kejawen sebagai:

“Ada sekitar 50.000 pertapa di Jawa. Berpuasa, tidak minum tuak dan tidak kawin. Mereka memakai tutup kepala dan kadang ada logo bintang lima berwarna putih. Orang-orang ini juga disembah oleh orang Islam, dan mereka sangat percaya pada ramalan mereka. Memberinya sedekah, dan sangat gembira jika didatangi. Mereka berjalan berpasangan”

Setelah kematian Sultan Trenggana yang sukses merobohkan identitas terakhir kebesaran Majapahit di Daha-Kediri. Perpecahan diantara Orang Islam mulai tampak menyangkut “bid’ah” Jawa ini.

Mula-mula perpecahan terjadi dikalangan para wali, tentang perlu tidaknya melestarikan kebudayaan Jawa dengan adopsi modifikasi Islam. Perpecahan mulai menjadi arena pertempuran ketika kepentingan politik untuk memperebutkan tahta turut campur.

Alhasil, berdirilah Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Sutawijaya (Penembahan Senopati) di Mataram. Ketika akhirnya harus adu tanding di medan laga. Demak Bintoro (Pajang) runtuh tanpa sisa digantikan dengan kekuasaan Mataram.

Dalam kekuasaan mataram inilah, terjadi pembalikan sejarah walau tidak secara frontal. Jawa yang awalnya diislamisasi, berganti menjadi Islam yang di”jawa”nisasi. Sebab utama yang mampu melestarikan kebudayaan jawa sampai sekarang, tapi tetap tidak kehilangan identitas sebagai muslim.

Sultan Agung yang bertahta di Mataram paska era Panembahan Senopati, adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam proses jawanisasi Islam. Setelah dengan bengis menghancurkan benteng terakhir Islam asketis di Jawa Tengah, Tembayat. Sultan Agung dengan otoriter memaksakan fahamnya.

Lalu sultan Agung mengarahkan militernya ke Giri-Kedaton sebagai benteng terakhir Islam asketis dan pusat perlawanan paling gigih dari pemaksaan faham jawanisasi Islam. Setelah sukses menaklukkan, Sultan Agung berhasil mencuri simpati dengan mengawinkan Putra Mahkota Kedaton Giri dengan putrinya demi legitimasi kekuasaanya, 1636M

Selain usaha militer, demi terbangunya suatu sintesis yang efektif antara tradisi jawa, Islam dan kultus raja. Sultan Agung juga membuat kalender Jawa yang dimulai dari tahun 78M, lalu mengadakan ritual-ritual seperti, grebeg suro.

Berabad-abad sesudahnya, nggak mengherankan jika Islam Jawa ini disebut sebagai ahli bid’ah, sesat, tidak murni dll. Padahal sebenarnya, friksi itu hanya sebuah “replay” dari sejarah runtuhnya zaman Demak Bintoro.

Jika menaati wejangan Sunan Ampel yang bersumber dari al-Qur’an surah al-mumtahanah (60) ayat 8:

”Allah tidak melarang kamu berkawan dengan orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Hendaklah kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Adil”

Mungkin Demak Bintoro bisa berumur lebih panjang...mungkin Lho Ya..

0 komentar:

Posting Komentar