Minggu, 19 Maret 2017

Cerita Peralihan Kekuasaan Kerajaan Majapahit Ke Kerajaan Demak (2)

Kumpulan Sejarah - Tersebutlah Sultan Demak yang akan memohon doa restu kepada para sesepuhnya. Sesudah tiga hari, Sultan Demak berangkat ke Ampel. Adapun yang ditugaskan menunggu di Majapahit adalah Patih Mangkurat serta Adipati Terung. Mereka diperintahkan untuk menjaga keamanan keadaan dan segala kemungkinan yang terjadi. Sunan Kudus menjaga di Demak menjadi wakil Sang Prabu. Di Kabupaten Terung juga dijaga ulama tiga ratus, setiap malam mereka shalat hajat serta tadarus Al Qur’an.

Ilustrasi

Sebagian pasukan dan Sunan ikut Sang Prabu ke Ampelgading. Sunan Ampel sudah wafat hanya tinggal istrinya. Istri beliau asli dari Tuban, putra Arya Teja. Setelah wafatnya Sunan Ampel, Nyai Ageng menjadi sesepuh orang Ampel. Sang Prabu Jimbuningrat sesampainya di Ampel, kemudian menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Prabu Jimbuningrat berkata bahwa dirinya baru saja menyerbu Majapahit, dan melaporkan hilangnya ayahanda serta Raden Gugur. Ia juga melaporkan kematian Patih Majapahit dan berkata bahwa dirinya sudah menjadi raja seluruh tanah Jawa bergelar Senapati Jimbun.

Beliau meminta restu agar langgeng bertahta dan anak keturunannya nanti jangan ada yang memotong. Nyai Ageng Ampel mendengar perkataan Prabu Jimbun, menangis seraya merangkul Sang Prabu. Hati Nyai Ampel tersayat-sayat perih. Demikian ia berkata, “Cucuku, kamu dosa tiga hal. Melawan raja dan orang tuamu, serta yang memberi kedudukan sebagai bupati. Mengapa kamu tega merusak tanpa kesalahan. Apa tidak ingat kebaikan Uwa Prabu Brawijaya? Para ulama diberi kedudukan dan sudah membuahkan rizki sebagai sumber makannya, serta diberi kemudahan dan dibebaskan menyebarkan agama? Seharusnya kamu sangat berterima kasih, tapi akhirnya malah kamu balas kejahatan, kini hidupnya beliaupun tidak ada yang tahu”.

Nyai Ageng kemudian menanyai Sang Prabu, katanya, “Angger, aku akan bertanya kepada kamu, jawablah sebenarnya, ayahandamu yang benar itu siapa? Siapa yang mengangkat kamu menjadi raja di tanah Jawa, dan siapa yang mengijinkan kamu? Apa sebabnya kamu menganiaya orang tanpa dosa?” Raden Patah kemudian menjawab, bahwa Prabu Brawijaya adalah benar-benar ayahandanya. Yang mengangkat dirinya menjadi Raja memangku tanah Jawa adalah semua Bupati pesisir, dan yang mengizinkan adalah para Sunan. Mengapa negara Majapahit dirusak, karena Sang Prabu Brawijaya tidak berkenan masuk agama Islam, masih mempercayai agama kafir, Buda kawak dawuk seperti kuwuk.

Nyai Ageng mendengar jawaban Prabu Jimbun, kemudian menjerit seraya merangkul Sang Prabu dengan berkata, “Angger! Ketahuilah, kamu itu dosa tiga hal, mestinya kamu itu dikutuk oleh Gusti Allah. Kamu berani melawan Raja lagi pula orang tuamu sendiri, serta orang yang memberi anugerah kepada kamu. Kamu berani-beraninya menganggu orang tanpa dosa. Adanya Islam dan kafir siapa yang menentukan, selain hanya Gusti Allah sendiri. Orang beragama itu tidak boleh dipaksa, harus keluar dari keinginannya sendiri. Orang yang kukuh memegang agamanya sampai mati itu utama. Apabila Gusti Allah mengizinkan, tidak usah disuruh, sudah pasti dengan sendirinya memeluk agama Islam. Gusti Allah bersifat rahman, tidak memerintahkan dan menghalangi kepada orang beragama. Semua ini atas kehendaknya sendiri-sendiri.

Gusti Allah tidak menyiksa orang kafir yang tidak bersalah, serta tidak memberi ganjaran kepada orang Islam yang bertindak tidak benar, hanya benar dan salah yang diadili dengan keadilan. Ingat-ingatlah asal-asalmu, ibumu Putri Cina menyembah Pikkong, berwujud kertas atau patung batu. Kamu tidak boleh benci kepada orang yang beragama Buda. Matamu itu berkacalah, agar tidak blero penglihatanmu, tidak tahu yang benar dan yang salah. Katanya anaknya Sang Prabu, kok tega menelan ayahanda sendiri. Bisa-bisanya sampai hati merusak tanpa tata krama. Berbeda matanya orang Jawa.

Orang Jawa matanya hanya satu, maka ia menjadi tahu benar dan salah, tahu yang baik dan yang buruk, pasti hormat kepada ayah, kedua kepada raja yang memberi anugrah, ia wajib dijunjung tinggi. Ikhlasnya hati bakti kepada ayah, tidak berbakti kepada orang kafir, karena sudah kewajiban manusia berbakti kepada orang tuanya.
Kamu aku dongengi, Wong Agung Kuparman, itu beragama Islam, punya mertua kafir, mertuanya benci kepada Wong Agung karena lain agama, mertuanya selalu mencari cara agar menantunya mati. Tetapi Wong Agung selalu hormat dan sangat kasih serta menjunjung tinggi kedua orang tuanya. Ia tidak memandang orang tua dari segi kekafirannya, tapi posisinya sebagai orang tuanya. Maka Wong Agung selalu menjunjung hormat kepada mertuanya itu. Itulah Angger yang dinamakan orang berbudi baik. Tidak seperti tekadmu, ayahanda disia-siakan, mentang-mentang kafir Buda tidak mau berganti agama. Itu bukan patokan. Aku akan bertanya sekarang, apakah kamu sudah memohon kepada orang tuamu, agar beliau pindah agama? Mengapa negaranya sampai kamu rusak itu bagaimana?

Prabu Jimbun berkata, bahwa ia belum memohon pindah agama, sesampainya di Majapahit langsung saja mengepung. Nyai Ageng Ampel tersenyum sinis dan berkata, “Tindakanmu itu makin salah. Para Nabi jaman kuna, ia berani kepada orang tuanya itu karena setiap hari sudah mengajak berpindah agama, bahkan sudah ditunjukkan mu’jizat kepadanya, tetapi tidak berkenan. Karena setiap hari sudah dimohon agar memeluk agama Islam, tetapi ajakannya tadi tidak dipikirkan, masih melestarikan agama lama, maka kemudian dimusuhi. Jika demikian caranya, meskipun melawan orang tua, lahir batin tidak salah. Tapi orang seperti kamu? Mu’jizatmu apa? Apabila benar Khalifatullah berwenang mengganti agama, coba keluarkan apa mu’jizatmu, aku lihat?”

Prabu Jimbun mengakui bahwa ia tidak memiliki mu’jizat apa-apa, hanya menurut perkataan buku, katanya apabila mengIslamkan orang kafir besok akan mendapat ganjaran surga. Nyai Ageng Ampel tersenyum tetapi tambah amarahnya. “Kata-kata saja kok dipercayai, pun bukan buku dari leluhur. Orang mengembara kok diturut perkataannya, yang mendapat celaka ya kamu sendiri. Itu pertanda ternyata masih mentah pengetahuanmu.
Berani kepada orang tua, karena keinginanmu menjadi raja, kesusahannya tidak dipikir. Kamu itu bukan santri yang tahu sopan santun, hanya mengandalkan sorban putih, tetapi putihnya kuntul, yang putih hanya di luar, di dalam merah.
Ketika kakekmu masih hidup, kamu pernah berkata bila akan merusak Majapahit, kakekmu melarang. Malah berpesan dengan sungguh-sungguh jangan sampai memusuhi orang tua. Sekarang kakekmu sudah wafat, wasiatnya kamu langgar. Kamu tidak takut akibatnya. Kini kamu meminta izin kepadaku, untuk menjadi raja di tanah Jawa, aku tidak berwenang mengizinkan, aku rakyat kecil dan hanya perempuan, nanti buwana balik namanya.
Karena kamu semestinya yang memberi izin kepadaku, karena kamu Khalifatullah di tanah Jawa, hanya kamu sendiri yang tahu, seluruh kata-katamu lidah api. Aku sudah tuwa tiwas, sedang kamu nanti tua, akan tetap menjadi tuanya seorang raja”.

Nyai Ageng Ampel berkata lagi, ”Cucu! Kamu aku dongengi sebuah kisah, dalam Kitab Hikayat diceritakan di tanah Mesir, Kanjeng Nabi Dawud, putranya menginginkan tahta ayahandanya. Nabi Dawud sampai mengungsi dari negara, putranya kemudian menggantikannya menjadi raja. Tidak lama kemudian bisa kembali merebut negaranya. Putranya naik kuda melarikan diri ke hutan, kudanya lepas tersangkut pepohonan, sampai ia tersangkut tergantung di pohon. Itulah yang dinamakan hukum Allah.

Ada lagi cerita Sang Prabu Dewata Cengkar, ia memburu tahta ayahandanya, tetapi kemudian dikutuk oleh ayahandanya kemudian menjadi raksasa, setiap hari makan manusia. Tidak lama kemudian, ada Brahmana dari tanah seberang datang ke tanah Jawa bernama Aji Saka. Aji Saka memamerkan ilmu sulap di tanah Jawa. Orang Jawa banyak yang cinta kepada Aji Saka, dan benci kepada Dewata Cengkar. Aji Saka diangkat menjadi raja, Dewata Cengkar diperangi sampai terbirit-birit, tercebur ke laut dan berubah menjadi buaya, tidak lama kemudian mati. Ada lagi cerita di Negara Lokapala juga demikian, Sang Prabu Danaraja berani kepada ayahandanya, hukumnya masih seperti yang aku ceritakan tadi, semua menemui sengsara. Apalagi seperti kamu, memusuhi ayahanda yang tanpa susila, kamu pasti celaka, matimu pasti masuk neraka, yang demikian itu hukum Allah”.

Sang Prabu Jimbun mendengar kemarahan eyang putrinya menjadi sangat menyesal di hati, tetapi semua sudah terjadi.
Nyai Ageng Ampel masih meneruskan gejolak amarahnya, ”Kamu itu dijerumuskan oleh para ulama dan para Bupati. Tapi kamu kok mau menjalani, yang mendapat celaka hanya kamu sendiri, lagi pula kehilangan ayah, selama hidup namamu buruk, bisa menang perang tetapi musuh orang tua raja. Karena itu bertaubatlah kepada Yang Maha Kuasa, kiraku tidak bakal memperoleh ampunan. Pertama memusuhi ayah sendiri, kedua membelot kepada Raja, ketiga merusak kebaikan dan merusak negara tanpa tahu adat. Adipati Ponorogo dan Adipati Pengging pasti tidak akan terima rusaknya Majapahit, pasti akan membela kepada ayahnya, itu saja sudah berat tanggunganmu”.

Nyai Ageng tumpah ruah meluapkan amarahnya kepada Prabu Jimbun. Setelah itu, Sang Prabu diperintahkan kembali ke Demak, serta diperintahkan agar mencari hilangnya ayahandanya. Apabila sudah bertemu dimohon pulang ke Majapahit, dan ajaklah mampir ke Ampelgading. Akan tetapi apabila tidak berkenan, jangan dipaksa, karena jika sampai marah maka ia akan mengutuk, kutukannya pasti makbul.

Setelah Prabu Jimbun tiba di Demak, para pengikutnya menyambutnya dengan gembira dan berpesta ria. Para santri bermain rebana dan berdzikir, mengucap syukur dan sangat gembira atas kemenangan mereka dan kepulangan Sang Prabu Jimbun atau Raden Patah. Sunan Bonang menyambut kepulangan Sang Prabu Jimbun.

Sang raja kemudian melaporkan kepada Sunan Bonang bahwa Majapahit telah jatuh, buku-buku agama Buda sudah dibakari semua, serta melaporkan kalau ayahandanya dan Raden Gugur lolos. Patih Majapahit tewas di tengah peperangan, Putri Cempa sudah diajak mengungsi ke Bonang. Pasukan Majapahit yang sudah takhluk kemudian disuruh masuk Islam.

Sunan Bonang mendengar laporan Sang Prabu Jimbun, tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia mengatakan peristiwa itu cocok dengan perkiraan batinnya.

Sang Prabu melaporkan bahwa ia telah mampir ke Ampeldenta untuk menghadap Eyang Nyai Ageng Ampel. Kepada Eyang Nyai Ageng Ampel ia mengatakan kalau baru saja dari Majapahit, serta memohon izin bertahta menjadi raja tanah Jawa. Akan tetapi di Ampel ia malah dimarahi serta diumpat-umpat. Ia dikatakan tidak tahu membalas kebaikan Sang Prabu Brawijaya. Akhirnya ia diperintahkan supaya mencari dan mohon ampun kepada ayahandanya. Semua kemarahan Nyai Ageng Ampel dilaporkan kepada Sunan Bonang.

Mendengar hal itu Sunan Bonang dalam batin menyesal dan merasa bersalah karena khilaf akan kebaikan Prabu Brawijaya. Tapi rasa yang demikian tadi ditutupi dengan berpura-pura menyalahkan Prabu Brawijaya lan Patih, karena tidak mau pindah agama Islam. Sunan Bonang mengatakan agar perintah Nyai Ageng Ampel tidak perlu dipikirkan benar, karena pertimbangan wanita itu pasti kurang sempurna, lebih baik penghancuran Majapahit dilanjutkan. Jika Prabu Jimbun menuruti perintah Nyai Ampeldenta, Sunan Bonang lebih baik akan pulang ke Arab. Akhirnya Prabu Jimbun berjanji kepada Sunan Bonang, untuk tidak menjalani perintah Nyai Ampel.

Sunan Bonang memerintahkan kepada Sang Prabu, jika ayahandanya memaksa pulang ke Majapahit, Sang Prabu diperintahkan menghadap dan meminta ampun akan semua kesalahannya. Akan tetapi bila beliau ingin bertahta lagi, jangan di tanah Jawa, karena pasti akan mengganggu orang yang pindah agama Islam. Ia disuruh bertahta di negara lain di luar tanah Jawa.

Sunan Giri kemudian menyambung, agar tidak mengganggu pengislaman Jawa, Prabu Brawijaya dan putranya lebih baik ditenung saja. Karena membunuh orang kafir itu tidak ada dosanya. Sunan Bonang serta Prabu Jimbun sudah mengamini pendapat Sunan Giri yang demikian tadi.


Sumber: http://aryawirabumi.blogspot.com/2011/03/dialog-sunan-kalijaga-dengan-prabu.html#ixzz4bpwNsJq5

0 komentar:

Posting Komentar